Selasa, 28 September 2010

Bahasa dan Matematika dalam Komunikasi


 Bahasa dan Matematika dalam Komunikasi
Oleh A Halim Fathani Yahya
Bahasa merupakan suatu sistem yang terdiri dari lambang-lambang, kata-kata, dan kalimat-kalimat yang disusun menurut aturan tertentu dan digunakan sekelompok orang untuk berkomunikasi. Dalam tulisannya, Mudjia Rahardjo mengatakan: “Di mana ada manusia, di sana ada bahasa”. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Bahasa tumbuh dan berkembang karena manusia. Manusia berkembang juga karena bahasa. Keduanya menyatu dalam segala aktivitas kehidupan. Hubungan manusia dan bahasa meruapakan dua hal yang tidak dapat dinafikan salah satunya. Bahasa pula yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain.
Menelisik Hakikat Bahasa
Dilihat dari segi fungsinya, bahasa memiliki dua fungsi yaitu: pertama, sebagai alat untuk menyatakan ide, pikiran, gagasan atau perasaan; dan kedua, sebagai alat untuk melakukan komunikasi dalam berinteraksi dengan orang lain. Berdasar dua fungsi tersebut, adalah sesuatu yang mustahil dilakukan jika manusia dalam berinteraksi dan berkomunikasi tanpa melibatkan peranan bahasa. Komunikasi pada hakekatnya merupakan proses penyampaian pesan dari pengirim kepada penerima. Hubungan komunikasi dan interaksi antara si pengirim dan si penerima, dibangun berdasarkan penyusunan kode atau simbol bahasa oleh pengirim dan pembongkaran ide atau simbol bahasa oleh penerima.
Berkaitan dengan hal ini, dapat dikatakan bahwa syarat terjadinya proses komunikasi harus terdapat dua pelaku, yakni pengirim dan penerima pesan, sehingga yang perlu ditekankan selanjutnya adalah bagaimana cara kita menyampaikan pesan agar dapat berjalan secara efektif.. Dalam hal ini, Badudu (1995), mengemukakan ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, yaitu: a). orang yang berbicara; b). orang yang diajak bicara; c). situasi pembicaraan apakah formal atau non-formal; dan d). masalah yang dibicarakan (topik).
Bahasa Matematika
Menurut Galileo Galilei (1564-1642), seorang ahli matematika dan astronomi dari Italia,”Alam semesta itu bagaikan sebuah buku raksasa yang hanya dapat dibaca kalau orang mengerti bahasanya dan akrab dengan lambang dan huruf yang digunakan di dalamnya. Dan bahasa alam tersebut tidak lain adalah matematika. Berbicara mengenai matematika sebagai bahasa, maka pertanyaan yang muncul kemudian adalah dalam sudut pandang mana matematika itu disebut sebagai bahasa, dan apa perbedaan antara bahasa matematika dengan bahasa-bahasa lainnya.
Merujuk pada pengertian bahasa di atas, maka matematika dapat dipandang sebagai bahasa karena dalam matematika terdapat sekumpulan lambang/simbol dan kata (baik kata dalam bentuk lambang, misalnya “³” yang melambangkan kata “lebih besar atau sama dengan”, maupun kata yang diadopsi dari bahasa biasa, misalnya kata “fungsi” yang dalam matematika menyatakan suatu hubungan dengan aturan tertentu antara unsur-unsur dalam dua buah himpunan)
Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Simbol-simbol matematika bersifat “artifisial” yang baru memiliki arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya. Tanpa itu, maka matematika hanya merupakan kumpulan simbol dan rumus yang kering akan makna. Berkaitan dengan hal ini, tidak jarang kita jumpai dalam kehidupan, banyak orang yang berkata bahwa X, Y, Z itu sama sekali tidak memiliki arti.
Sebagai bahasa, matematika memiliki kelebihan jika dibanding dengan bahasa-bahasa lainnya. Bahasa matematika memiliki makna yang tunggal sehingga suatu kalimat matematika tidak dapat ditafsirkan bermacam-macam. Ketunggalan makna dalam bahasa matematika ini, penulis menyebutnya bahasa matematika sebagai bahasa “internasional”, karena komunitas pengguna bahasa matematika adalah bercorak global dan universal di semua negara yang tidak dibatasi oleh suku, agama, bangsa, negara, budaya, ataupun bahasa yang mereka gunakan sehari-hari. Bahasa yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari sering mengandung keraguan makna di dalamnya. Kerancuan makna itu dapat timbul karena tekanan dalam mengucapkannya ataupun karena kata yang digunakan dapat ditafsirkan dalam berbagai arti.
Bahasa matematika berusaha dan berhasil menghindari kerancuan arti, karena setiap kalimat (istilah/variabel) dalam matematika sudah memiliki arti yang tertentu. Ketunggalan arti itu mungkin karena kesepakatan matematikawan atau ditentukan sendiri oleh penulis di awal tulisannya. Orang lain bebas menggunakan istilah/variabel matematika yang mengandung arti berlainan. Namun, ia harus menjelaskan terlebih dahulu di awal pembicaraannya atau tulisannya bagaimana tafsiran yang ia inginkan tentang istilah matematika tersebut. Selanjutnya, ia harus taat dan tunduk menafsirkannya seperti itu selama pembicaraan atau tulisan tersebut.
Bahasa matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat kabur, majemuk, dan emosional dari bahasa verbal. Lambang-lambang dari matematika dibuat secara artifisial dan individual yang merupakan perjanjian yang berlaku khusus suatu permalahan yang sedang dikaji. Suatu obyek yang sedang dikaji dapat disimbolkan dengan apa saja sesuai dengan kesepakatan kita (antara pengirim dan penerima pesan).
Kelebihan lain matematika dipandang sebagai bahasa adalah matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif. Jika kita menggunakan bahasa verbal, maka hanya dapat mengatakan bahwa Si A lebih cantik dari Si B. Apabila kita ingin mengetahui seberapa eksaknya derajat kecantikannya maka dengan bahasa verbal tidak dapat berbuat apa-apa. Terkait dengan kasus ini maka kita harus berpaling ke bahasa matematika, yakni dengan menggunakan bantuan logika fuzzy sehingga dapat diketahui berapa derajat kecantikan seseorang.
Bahasa verbal hanya mampu mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif. Sedangkan matematika memiliki sifat kuantitatif, yakni dapat memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak yang memungkinkan penyelesaian masalah secara lebih cepat dan cermat. Matematika memungkinkan suatu ilmu atau permasalahan dapat mengalami perkembangan dari tahap kualitatif ke kuantitatif. Perkembangan ini merupakan suatu hal yang imperatif bila kita menghendaki daya prediksi dan kontrol yang lebih tepat dan cermat dari suatu ilmu. Beberapa disiplin keilmuan, terutama ilmu-ilmu sosial, agak mengalami kesukaran dalam perkembangan yang bersumber pada problem teknis dan pengukuran. Kesukaran ini secara bertahap telah mulai dapat diatasi, dan akhir-akhir ini kita melihat perkembangan yang menggermbiarakan, di mana ilmu-ilmu sosial telah mulai memasuki tahap yang bersifat kuantitaif. Pada dasarnya matematika diperlukan oleh semua disiplin keilmuan untuk meningkatkan daya prediksi dan kontrol dari ilmu tersebut.
Bagi dunia keilmuan, matematika memiliki peran sebagai bahasa simbolik yang meungkinkan terwujudnya komunikasi yang cermat dan tepat. Matematika dalam hubungannya dengan komunikasi ilmiah mempunyai peran ganda yakni sebagi ratu dan sekaligus sebagai pelayan ilmu. Di satu sisi, sebagai ratu matematika merupakan bentuk tertinggi dari logika, sedangkan di sisi lain, sebagai pelayan matematika memberikan bukan saja sistem pengorganisasian ilmu yang bersifat logis namun juga pernyataan-pernyataan dalam bentuk model matematik. Matematika bukan saja menyampaikan informasi secara jelas dan tepat namun juga singkat. Suatu rumus yang jikat ditulis dengan bahasa verbal membutuhkan rentetan kalimat yang banyak sekali, di mana makin banyak kata-kata yang dipergunakan maka makin besar pula peluang untuk terjadinya salah informasi dan salah interpretasi, maka dalam bahasa matematika cukup diulis dengan model yang sederhana sekali. Dalam hal ini, menurut Morris Kline, menambahkan bahwa ciri bahasa matematika yaitu bersifat ekonomis.
Selain sebagai bahasa, matematika juga berfungsi sebagai alat berpikir. Ilmu merupakan pengetahuan yang mendasarkan kepada analisis dalam menarik kesimpulan menurut suatu pola berpikir tertentu. Menurut Wittegenstein, matematika merupakan metode berpikir yang logis. Berdasarkan perkembangannya maka masalah yang dihadapi logika makin lama makin rumit dan membutuhkan struktur analisis yang lebih sempurna. Dalam perspektif inilah maka logika berkembang menjadi matematika, sebagaimana yang disimpulkan oleh Bertrand Russell, “matematika adalah masa kedewasaan logika, sedangkan logika adalah masa kecil matematika”.











Penalaran Deduksi
Penalaran deduksi/deduktif didasarkan pada penarikan kesimpulan yang bertolak dari hal yang umum. Dalam karangan penerapan penalaran deduktif ini tampak pada pernyataan umum yang dituangkan dalam kalimat utama yang kemudian menuju pada beberapa kalimat penjelas.
Dalam suatu penalaran deduksi kesimpulan dapat ditarik dengan cara:
1. menarik kesimpulan dari satu premis
Contoh:
Premis        : Hari Jumat, tanggal 10 September 2010 merupakan hari libur nasional.
Kesimpulan: Hari itu sekolah libur.
2. menarik kesimpulan dari dua premis
Contoh:
Premis 1    : Pegawai Negeri adalah anggota Korpri.
Premis 2    : Anggota Korpri memiliki seragam khusus.
Kesimpulan: Pegawai Negeri pasti mempunyai seragam khusus.
Konklusi atau kesimpulan yang kita utarakan harus dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam penarikan kesimpulan penalaran deduksi, yaitu:
1.      premis harus benar
2.      penalaran yang menuju kesimpulan harus benar.





SILOGISME
Penalaran deduksi yang biasa digunakan ialah silogisme. Silogisme disebut juga penalaran deduksi secara tidak langsung. Dalam silogisme kita dapati dua premis dan satu premis kesimpulan. Kedua premis itu adalah premis umum/premis mayor dan premis khusus/premis minor. Dari kedua premis tersebut kesimpulan dirumuskan.
Premis umum (=PU)         :   menyatakan bahwa semua anggota golongan tertentu (=semua A) memiliki sifat atau hal tertentu (=B).
Premis khusus (=PK)       :   menyatakan bahwa sesuatu atau seseorang (=C) adalah anggota golongan tertentu itu (=A).
Kesimpulan (=K)               :   menyatakan bahwa sesuatu atau seseorang (=C) memiliki sifat atau hal tersebut pada B (=B)
Jika ketentuan-ketentuan di atas kita rumuskan, rumus itu akan berbunyi sebagai berikut:
PU      : semua A = B
PK      : C = A
K         : C = B
Contoh 1:
PU : Semua jenis parasit merugikan inangnya.
PK : Benalu tergolong parasit.
K : Benalu tentu merugikan inangnya.
Contoh 2:
PU : Binatang menyusui melahirkan anak dan tidak bertelur.
PK : Ikan paus binatang menyusui.
K : Ikan paus melahirkan anak dan tidak bertelur.



Silogisme Negatif
Silogisme negatif adalah silogisme yang salah satu premisnya bersifat negatif. Silogisme jenis ini biasanya di salah satu premisnya ditandai dengan kata-kata ingkar, yaitu tidak atau bukan.
Contoh
PU       : Semua penderita diabetes tidak boleh banyak makan tepung-tepungan.
PK       : Paman penderita doabetes.
K         : Paman tidak boleh banyak makan tepung-tepungan.
ENTIMEM
Penggunaan silogisme dalam kehidupan sehari-hari atau karang-mengarang terasa sangat kaku. Oleh karena itu, silogisme dapat diperpendek dengan tidak menyebutkan premis umumnya. Kita dapat langsung mengetengahkan kesimpulan, dengan premis khusus sebagai penyebabnya. Bentuk silogisme yang demikian disebut entimem.
Entimem merupakan penalaran deduksi secara langsung.
Entimem dapat dirumuskan: C = B, karena C = A.
Contoh 1:
Silogisme:
PU : Pegawai yang baik tidak mau menerima suap.
PK : Budiman pegawai yang baik.
K : Budiman tidak mau menerima suap.
Entimem:
Budiman tidak mau menerima uang suap, karena ia pegawai yang baik.
Contoh 2:
Silogisme:
PU : Orang yang ingin sukses hidupnya harus bekerja keras.
PK : Diah orang yang ingin sukses hidupnya.
K : Diah harus bekerja keras
.Entimem:
Diah harus bekerja keras, karena ia ingin sukses hidupnya

Penalaran Induksi

Proses berpikir manusia untuk menghubungkan hubungan data atau fakta yang ada sehingga sampai pada suatu kesimpulan disebut penalaran. Dalam karangan penalaran berarti penggunaan pikiran untuk suatu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk tertulis. Dengan penalaran yang tepat, hal-hal yang akan dituangkan dalam karangan menjadi kuat. Penyajian materi karangan akan sesuai dengan jalan pikiran yang tepat. Oleh karena itu, setiap pengungkapan harus dipertimbangkan terlebih dahulu agar hal-hal yang tidak tepat tidak masuk dalam karangan.
Penalaran yang baik berarti ketepatan pengorganisasian dan penyajian semua gagasan. Segala pernyataan benar-benar kuat dan dapat dipertanggung jawabkan, tanpaa meragukan pembaca. Alasan-alasan yang dikemukakan merupakan hal yang dapat diterima.
Ada dua macam penalaran yang biasa dilakukan dalam menarik suatu kesimpulan, yakni penalaran induksi dan penalaran deduksi. Pada kesempatan ini akan dibahas terlebih dahulu mengenai penalaran induksi. Sedangkan penalaran deduksi akan dibahas pada kesempatan lain.
PENALARAN INDUKSI
Dalam penalaran induksi/induktif kita mulai dengan menyebutkan peristiwa atau keterangan atau data yang khusus untuk menuju kepada kesimpulan umum yang mencakup semua peristiwa khusus itu.
Ada tiga jenis penalaran induksi :

A. GENERALISASI

Generalisasi adalah proses penalaran yang dimulai dari pernyataan-pernyataan khusus untukl diambil kesimpulan yang bersifat umum. Generalisasi adalah pernyataan yang berlaku umum untuk semua atau sebagian besar gejala yang diamati. Generalisasi mencakup ciri-ciri esensial, bukan rincian. Dalam pengembangan karangan, generalisasi dibuktikan dengan fakta, contoh, data statistik, dan lain-lain.
Contoh:
Pemakain bahasa Indonesia di seluruh daerah di Indonesia dewasa ini belum dapat dikatakan seragam. Perbedaan dalam struktur kalimat, lagu kalimat, ucapan terlihat dengan mudah. Pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan sering dikalahkan oleh bahasa daerah. Di lingkungan persuratkabaran, radio, dan TV pemakaian bahasa Indonesia belum lagi dapat dikatakan sudah terjaga baik. Para pemuka kita pun pada umumnya juga belum memperlihatkan penggunaan bahasa Indonesia yang terjaga baik. Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa pengajaran bahasa Indonesia perlu ditingkatkan.
B. ANALOGI
Analogi adalah penalaran yang membandingkan dua hal yang memiliki banyak persamaan sifat. Cara ini didasarkan asumsi bahwa jika sudah ada persamaan dalam berbagai segi, maka akan ada persamaan pula dalam bidang/hal lainnya.
Contoh:
Seseorang yang menuntut ilmu sama halnya dengan mendaki gunung. Sewaktu mendaki, ada saja rintangan seperti jalan yang licin yang membuat seseorang jatuh. Ada pula semak belukar yang sukar dilalui. Dapatkah seseorang melaluinya? Begitu pula bila menuntut ilmu, seseorang akan mengalami rintangan seperti kesulitan ekonomi, kesulitan memahami pelajaran, dan sebagainya. Apakah Dia sanggup melaluinya? Jadi, menuntut ilmu sama halnya dengan mendaki gunung untuk mencapai puncaknya.
Penalaran secara analogi memiliki peluang untuk salah apabila kita beranggapan bahwa persamaan satu segi akan memberikan kepastian persamaan pada segi-segi yang lain.
C. HUBUNGAN SEBAB AKIBAT
Hubungan sebab akibat dimulai dari beberapa fakta yang kita ketahui. Dengan m,enghubungkan fakta yang satu dengan fakta yang lain, dapatlah kita sampai kepada kesimpulan yang menjadi sebab dari fakta itu atau dapat juga kita sampai kepada akibat fakta itu.
Penalaran induksi sebab akibat dibedakan menjadi 3 macam:
1. Hubungan sebab – akibat
Dalam hubungan ini dikemukakan terlebih dahulu hal-hal yang menjadi sebab, kemudian ditarik kesimpulan yang berupa akibat.
Contoh penalaran hubungan sebab akibat:
Belajar menurut pandangan tradisional adalah usaha untuk memperoleh sejumlah ilmu pengetahuan. “Pengetahuan” mendapat tekanan yang penting, oleh sebab pengetahuan memegang peranan utama dalam kehidupan manusia. Pengetahuan adalah kekuasaan. Siapa yang memiliki pengetahuan, ia mendapat kekuasaan.
2. Hubungan akibat – sebab
Dalam hubungan ini dikemukakan terlebih dahulu hal-hal yang menjadi akibat, selanjutnya ditarik kesimpulan yang merupakan penyebabnya.
Contoh penalaran hubungan akibat sebab:
Dewasa ini kenakalan remaja sudah menjurus ke tingkat kriminal. Remaja tidak hanya terlibat dalam perkelahian-perkelahian biasa, tetapi sudah berani menggunakan senjata tajam. Remaja yang telah kecanduan obat-obat terlarang tidak segan-segan merampok bahkan membunuh. Hal ini disebabkan kurangnya perhatian dari orang tua, pengaruh masyarakat, dan pengaruh televisi dan film yang cukup besar.
3. Hubungan sebab – akibat 1 – akibat 2
Suatu penyebab dapat menimbulkan serangkaian akibat. Akibat pertama menjadi sebab hingga menimbulkan akibat kedua. Akibat kedua menjadi sebab yang menimbulkan akibat ketiga, dan seterusnya.
Contoh penalaran hubungan sebab – akibat 1 – akibat 2:
Setiap menjelang lebaran arus mudik sangat ramai. Seminggu sebelum lebaran jalanan sudah dipenuhi kendaraan-kendaraan umum maupun pribadi yang mengangkut penumpang yang akan pulang ke daerahnya masing-masing. Banyaknya kendaraan tersebut mau tidak mau mengakibatkan arus lalu lintas menjadi semrawut. Kesemrawutan ini tidak jarang sering menimbulkan kemacetan di mana-mana. Lebih dari itu bahkan tidak mustahil kecelakaan menjadi sering terjadi. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menghambat perjalanan.



2 komentar: